Friday, September 14, 2012

wine

kamu datang menggenggam minuman yang kuminta. kuulurkan tangan untuk menjemputnya, tapi kamu justru menarik itu dari jangkauanku.

"maaf. saya belum bisa memberinya sekarang," katamu lirih.

aku tau. aku tau dari caramu bicara, berkedip, dan tatapanmu. kamu pun ragu. aku lepas dahaga ini dengan menelan ludahku sendiri. tidak berarti. "lalu kenapa harus kamu bawa?"

aku mendengar napas yang tertahan. dengan masih  menunduk, kamu menjawab, "agar kamu tahu bahwa saya memilikinya. menyimpannya. lalu akan menyajikannya ketika dia sudah matang. kalau kamu meminumnya saat ini, ia hanya bisa menghilangkan dahaga. tapi nanti, ketika ia sudah matang, ia akan memberimu lebih dari apa yang kamu minta."

aku diam.

"kamu hanya perlu bersabar... saya pun akan bersabar menunggunya masak..."

lalu kamu pergi. membawa apa yang selama ini kumau. entah untuk berapa lama. mungkin, hingga aku mulai lelah menunggu.

Thursday, December 29, 2011

Di Atas Mary Jane

Seperti biasa, ada teh hangat, lampion oranye, aku, dan kamu di tempat ini. Entah bagaimana kegiatan kecil kita ini sudah bertransformasi menjadi suatu ritual yang sakral. Setiap Kamis senja kamu datang dengan sepeda keranjangmu yang penuh dengan termos dan cangkir kupu-kupu merah jambu yang sejak dulu kamu simpan. Kamu bilang, cangkir ini membuat kamu merasa 'wanita'. Padahal menurutku tidak ada wanita yang lebih wanita dari dirimu di dunia ini. Lalu kamu bunyikan kring-kring sepedamu tiga kali. Tanda bagiku untuk segera bergegas dan menyambutmu. Kemudian dengan sepeda masing-masing kita menuruni jalan dan melaju ringan menuju sebuah bukit kecil tersembunyi tidak jauh dari hutan pinus. Kamu suka bau pinus. Kita menamainya Mary Jane. Entahlah. Itu ide darimu. Sampai saat ini pun aku masih tidak mengerti kenapa kamu menamainya Mary Jane. Mengingatkanku pada tokoh perempuan yang melemahkan Spiderman.

Dan sekarang kita duduk bersisian dengan cangkir teh kupu-kupu merah muda dan gelas rootbeer besarku yang selalu kamu komplain karena membuat cangkirmu tidak romantis. Seperti tuan putri dan penyanyi rock and roll. Dan setiap kali kamu membahasnya aku tertawa. Langit menjadi merah muda, gaun indah yang selalu ingin kamu miliki namun hanya bisa kamu pandangi. Tenang saja. Suatu hari gaun merah muda itu akan sampai padamu. Dengan pita dan mahkotanya juga. Dan kamu sangat meyakini hal ini.

"Haaa... aku sangat suka langit yang seperti ini... merah muda..."

"Kamu mengatakannya ratusan kali," balasku.

"Cantik..."

"Seperti kamu..." aku menegaskannya.

Pipimu bersemu. Hal yang selalu aku suka. "Seperti aku saat?"

"Saat memungut sampah di jalan dan membuangnya ke tempat sampah," jawabku.

Kau mencabut sedikit rumput dan melemparkannya ke arahku sambil merengut. Aku tertawa.

"Jangan menggodaku seperti itu. Aku... sedang sangat 'merasakan'," katamu lagi.

Aku mengernyitkan dahi. "Merasakan?"

Kau menundukkan kepala menyembunyikan senyummu. Aku tergoda.

"Aaa... ada yang kamu sembunyikan... ini pasti tentang seseorang," terka ku yakin.

Wajahmu semakin bersemu dan aku semakin yakin dengan tebakanku. "Jadi... siapa?"

"Kamu tidak kenal," katamu malu-malu.

"Aaa... orang asing, ya? Hahahaha. Kalian kenal di mana?"

Matamu semakin berbinar. "Hmmm... sebenarnya... aku pun tidak kenal dengannya. Aku hanya sering memerhatikannya membeli permen loli setiap pagi. Sebenarnya... aku juga tidak tahu kenapa aku bisa begitu kagum padanya..."

Aku mengernyitkan dahi. "Apa? Kamu tidak kenal?" Aneh.

Kamu menggigit bibirmu. Kebiasaan lama yang manis. "I... Iya... hanya saja... beberapa hari yang lalu aku bermimpi tentangnya. Kami jatuh bersama-sama ke dalam lautan bunga. Lalu kami kembali terpantul ke atas. Tetapi... aku tidak bisa bernapas. Dia membawa semua udara ke paru-parunya. Dan cara satu-satunya agar aku bisa bernapas adalah..."

Aku tersentak. "Stop! Stop! Jangan bilang kamu..."

Kamu pun kaget. "Tentu saja tidak! Mana mungkin aku melakukannya. Lagi pula..." kau membiarkan kata-kata itu mengambang di udara.

Aku menunggumu.

Kamu tersenyum jahil. "Kita kan sudah berjanji. Kamu lupa?"

"Hahahahaha... Iya. Tapi, saat ini kamu sebenarnya sudah memegang kunci gembok dan siap membobol janji kita itu. Pendam dulu semuanya sampai 3 tahun lagi. Haaa... jangan curang, ya. Jangan ingkar janji," kataku dengan senyum jahil yang sama.

Kamu mengambil cangkir teh mu dan menyesapnya. Lalu menatapku. "Kamu sendiri?"

"Aku?" Aku? Hmm... aku memandangi langit yang mulai hitam, lalu berbalik padamu. "Rahasia. Hahahaha..."
Kamu cemberut. "Curang! Aku kan sudah bercerita!"

"Hahahaha..."

Tunggu tiga tahun lagi. Nanti kamu akan lihat ada teh melati kesukaanmu dariku untukmu... di dalam cangkir kupu-kupu merah mudamu yang membuatmu semakin 'wanita'. Lalu gelas rootbeerku akan bersisian dengan cangkir manismu itu... dengan setangkai mawar merah muda di dalamnya. Percayalah, akan menjadi seromantis yang kamu bayangkan selama ini. Dan tentang orang yang kamu ceritakan itu... hm... entahlah. Aku hanya ingin menyampaikannya padamu. Kan itu yang ingin kamu tahu...

Saturday, August 27, 2011

Kenari dalam Sangkar Berlian


Hai! Kau pasti orang baru disini? Sudahkah kau mengenal Pak Pemburu? Kalau belum, biar aku arahkan kau menuju tempat tinggalnya.

Kau lihat belokan di ujung jalan sana? Iya. Yang itu. Kalau sudah sampai di depan belokan itu, berbeloklah. Mungkin jalann itu terlihat sepi. Tidak banyak orang yang memilih tinggal di belokan itu karena, kata mereka, tempat itu dekat dengan hutan. Mereka khawatir kalau suatu hari ada penghuni hutan yang ingin bertamu ke rumah mereka. Berbeda sekali dengan Pak Pemburu yang sangat senang menerima tamu. Siapapun. Termasuk hewan hutan, dan pastinya dia akan sangat senang menyambutmu.

Jangan berbelok ke belokan manapun setelah belokan pertama jika kau menemukannya karena tempat tinggal pemburu tidak berada disana. Kau hanya perlu terus melangkah dan terus melangkah sampai kau merasa disanalah tempat Pak Pemburu berada. Bagaimana kau tahu itu adalah tempat tinggal pemburu? Haha. Itu mudah. Saat kau merasa lelah dan rasanya tidak ada lagi tempat untuk singgah, disanalah tempat tinggalnya berada. Atau saat kau merasa bahagia dan tidak bisa menampung perasaan gembira itu sendiri, disanalah tempat tinggalnya berada. Atau saat kau merasa sendiri, sesungguhnya rumah Pak Pemburu sudah dekat.

Kalau kau sudah tiba di pagar rumahnya, jangan sungkan untuk memanggilnya. Tempat tinggal Pak Pemburu tidak memiliki bell atau semcamnya. Jadi, kau harus memanggilnya sendiri dengan suaramu. Tapi, dengan sedikit pujian tentunya. Misalnya “Pak Pemburu yang baik hati” atau “Pak Pemburu yang Ramah”. Dia pasti akan segera membukakan pintu untukmu. Bukan berarti ia tidak akan membukakan pintunya kalau tidak dipuji. Bukankah semua orang suka dipuji? Jadi, sering-seringlah memujinya.

Meskipun dia seorang pemburu, dia begitu ramah dan baik hati. Setelah dibukakan pintu, pasti kau diajak untuk berkeliling tempat tinggalnya yang sederhana. Dan pasti, dengan sangat bangga dia akan memperkenalkanmu pada seekor burung kenari berbulu keemasan yang tinggal dalam sangkar berlian. Kalau kau perhatikan, memang burung kenari itu memang memiliki sesuatu yang tidak biasa. Keindahan yag terpancar oleh bulu-bulu emasnya sebenarnya tidak terlalu istimewa. Ada burung kenari lain yang memantulkan sinar yang lebih berkilau dan indah daripada burung itu. Tapi, coba kau perhatikan bagaimana cara burung itu berjalan, melompat-lompat kecil, bercicit-cuit manis, dan tersenyum padamu denga cara yang tidak biasa. Ya, ia pasti akan membuatmu tersenyum. Ia terlihat begitu lucu dengan semua kesederhanaannya. Dan satu hal yang harus kau ketahui, ia sangat senang jika dipuji. Ia akan tersipu-sipu dan bercicit-cuit manja jika kau memujiya. Coba saja. Makanya, Pak Pemburu sagat mencintainya dan burung itu pun memiliki rasa cinta yang sama besarnya kepada Pak Pemburu.

Pak Pemburu menemukan burung ini sekitar 3 tahun yang lalu. Saat itu, burung ini sedang bermain bersama teman-temannya di hutan. Lalu, tidak sengaja Pak Pemburu menemukannya. Semua teman-temannya langsung pergi, tapi ia tidak. Ia tertarik dengan tatapan ramah Pak Pemburu. Ia tertarik dengan senyumnya yang hangat. Ia tidak pernah melihat ada manusia yang bisa tersenyum begitu ramah pada hewan hutan. Biasanya manusia datang dengan membawa barang-barang yang dapat merusak hutan. Tapi Pak Pemburu tidak. Mungkin ia membawa senapan, tapi jarang sekali ia gunakan. Biasanya ia gunakan senapan itu untuk berburu hewan buas. Ia tidak pernah menyakiti hewan-hewan yang berbuat baik kepadanya. Maka dari itu burung itu langsung menghampirinya dan bersedia menemani Pak Pemburu di rumahnya.

Well, kau sudah cukup mengenal Pak Pemburu? Kalau begitu, kau siap untuk cerita yang sesungguhnya.

~

Kau ingat burung kenari berbulu keemasan itu kan? Hari ini dan untuk entah berapa lama, ia akan sendirian di sangkarnya. Ya… tidak benar-benar sendirian sih. Ia masih bersama burung-burung kenari lainnya disana. Tapi, mereka semua tidak bisa satu hati dengannya. Ia juga tidak tahu kenapa. Ia jadi merasa kesepian tanpa kehadiran Pak Pemburu. Ia tidak lagi menatap mata ramahnya. Ia juga tidak lagi menikmati senyum tulusnya. Ia sebenarnya tidak ingin Pak Pemburu pergi. Tapi Pak Pemburu hanya tersenyum saat ia mengatakannya.

Ia terdiam sendiri di pojok sangkar berliannya. Ia mulai memahami kenapa ia tidak nyaman tanpa kehadiran Pak Pemburu. Karena tanpa kehadiran Pak Pemburu, tidak ada lagi yang menikmati keindahannya. Tidak ada lagi yang memujinya dan membuatnya merasa cantik. Tempat tinggal Pak Pemburu kosong, tidak ada siapapun selain ia dan burung kenari lainnya yang menganggapnya biasa, dan semua teman hewan Pak Pemburu.

Ia memerhatikan semua teman kenarinya. Saat Pak Pemburu pergi, mereka tidak lagi bersikap baik seperti saat Pak Pemburu ada disana. Mereka benar-benar berbeda. Kenari kecil pun menyadari ia berbeda dengan semua temannya. Ia tidak pernah berpura-pura menapakkan semua kebaikan yang ia lakukan di depan Pak Pemburu. Iya, mereka memang tidak seindah dirinya. Ia sadar sekali hal itu. Mereka tidak tersenyum seperti cara ia tersenyum. Mereka terlihat begitu berbeda. Bulu-bulu emasnya memang indah, tapi tidak terawat. Mereka bercicit-cuit dengan nada yang tidak bagus dan dengan kata-kata yang tidak baik. Mereka melompat kesana-kemari dengan umpatan di mulutnya.

Burung kenari itu pun semakin sedih di sangkar emasnya. Tiba-tiba salah satu  kenari berhasil membuka pintu sangkar berlian.  Semua kenari tertawa terbahak-bahak dan kemudian satu per satu pergi meninggalkan sangkar berlian. Sebelum satu kenari terakhir pergi, ia melirik pada kenari kesayanga Pak Pemburu yang terlihat begitu sedih pojok sangkar.

“Hei, kamu tidak mau keluar?” tanyanya.

Kenari itu mengangkat pandangannya. Tampak keraguan di wajahnya.

“Mau tidak?”

Sejujurnya, ia sagat ingin keluar. Ia ingin kembali ke keluarganya di hutan. Mungkin keluar sebentar tidak apa-apa. Nanti ia kembali lagi. Tapi, Pak Pemburu pun bisa kembali sewaktu-waktu. Ia tidak ingin Pa Pemburu kecewa karena ia tidak berada di kandangnya. Merusak kepercayaan Pak Pemburu padanya.

“Hei!”

“Aku…” kenari itu terbata

“Apa sih yang kamu pikirkan?”

“Memangnya… kenapa kalian pergi?” Tanya kenari itu.

“Ha…” kenari yang bertanya pertama kali melenguh. “Memangnya kamu tidak bosan berada di kandang setiap hari selama bertahun-tahun? Berpura-pura bersikap manis dan lucu setiap hari agar Pak Pemburu meyayangi dan memujamu? Oh… Ayolah…”

“Tapi… aku tidak pernah berpura-pura…”

“Ah! Tidak mungkin. Tidak mungkin kamu tidak lelah selalu menjadi baik! Tidak mungkin kamu mau terus berada dalam sangkar ini. Meskipun sangkar ini berlian, kita tetap seekor kenari hutan yang ingin bebas. Kamu pasti juga merindukan keluargamu kan?”

Kenari kecil itu tidak menjawab. Hatinya gamang.

“Kamu mau ikut atau tidak?”

“Tapi… kalau Pak Pemburu tahu…”

“Kita bisa kembali sesegera mungkin. Pak Pemburu tidak akan tahu. Dia kan sedang pergi. Tenang saja!”

“Tapi… dia bisa kembali sewaktu-waktu. Dan kalau dia tahu kita tidak ada di sangkar, dia pasti kecewa,” kenari itu semakin sedih.

“Kita tinggal meminta maaf kan kepada Pak Pemburu. Ah, kamu ini! Jangan sok suci begitu! Kita semua disini sama saja!”

“Tapi…”

“Kamu ingin pulang ke keluargamu kan?”

“Tapi…”

“Kamu juga ingin kembali bermain bersama teman-temanmu kan?” kenari itu semakin gencar memaksa.

“Iya… tapi…”

“Ah! Sudah! Aku malas berbicara denganmu!”

Lalu burung kenari itu terbang meninggalkan kenari kesayangan Pak Pemburu dalam kegamangan. Ia 
termenung di pojok sangkar sambil terisak sedih. Sedih karena gamangnya, sedih karena ia rindu keluarganya, sedih karena ia ingin bertemu teman-temannya. Lama kenari itu menangis sendiri di sangkarnya. Teman-teman hutan lain di tempat itu hanya bisa menatapnya dengan sedih. Mereka sendiri merasakan kesedihan yang sama dengan burung kecil itu.

Sebelum matahari benar-benar tenggelam, kenari-kenari yang tadi pergi satu persatu kembali ke sangkar. Mereka kembali dengan wajah ceria dan gembira. Benar, mereka kembali sebelum Pak Pemburu pulang. Kenari kecil yang bersedih semakin sedih.

“Apa aku bilang! Kamu sih tidak mau percaya!” kata kenari yang tadi pergi terakhir meninggalkannya.

Kenari kecil itu merasa semakin sedih. Ada sedikit sesal dalam hatinya. Tapi ia tidak ingin berkhianat kepada Pak Pemburu. Ia tidak ingin menodai kecintaannya pada Pak Pemburu dengan meninggalkan sangkar dan membuatnya kecewa. Tapi, ya… ia masih seekor kenari yang ingin kembali bebas. Ia masih seekor kenari yang merindukan keluarga dan teman-temannya. Kenari kecil itu berusaha mencari kebenaran dalam hatinya. Tapi ia tidak menemukan apa-apa selain pembenaran-pembenaran yang membuatnya semakin terjebak dalam pikiranya sendiri.

~

Yah, begitulah cerita tentang burung kenari yang ingin aku ceritakan padamu. Memang tidak mudah untuk bertahan dalam sesuatu yang kita anggap baik. Selalu saja ada godaan yang akan menjatuhkanmu. Apa kau tahu? Aku sering bertemu kenari-kenari seperti ini. Sangkarnya tidak hanya terbuat dari berlian. Bisa terbuat dari batu bata dan berbentuk sebuah pesantren. Bisa juga sebuah rumah dengan lantunan ayat suci di dalamnya. Kenari-kenari ini ada dimana-mana. Kau pun bisa mengamatinya kalau kau melihat dengan hatimu.
Kau pun bisa menjadi kenari-kenari itu suatu hari nanti. Kau tinggal memilih, kenari mana yang akan kau jelmai?

Selamat menjadi kenari. Jangan sungkan untuk berkunjung ke rumah Pak Pemburu lagi, ya. Aku pasti sangat senang menyambutmu kembali. Apa? Kau bertanya siapa aku? Ah, namaku tidak penting. Tapi satu yang bisa kau ingat. Aku selalu berada disisimu. Tidak terlalu jauh untuk kau rengkuh, tapi tidak juga terlalu dekat untuk kau peluk. Hm… bagaimana? Sudah mengenalku?

Baiklah baiklah. Kau ingin segera pulang kan? Kalau begitu sampai jumpa.

Ssstt… sayap kenarimu mulai tumbuh!

28th august 2011
1.13 am
Untuk semua kenari…

Monday, June 27, 2011

Empat Hati


Putri
Nella benar-benar cantik malam ini. Seperti seorang putri raja. Tidak ada mata yang tidak memandangnya. Bahkan Yoga yang selama ini mengacuhkannya sempat meliriknya. Yah, hanya melirik. Tapi untuk seorang seperti Yoga, lirikan adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Apalagi kepada seorang wanita.

Aku bersyukur mengenal Yoga sejak kecil. Sehingga dia tidak perlu melirikku dengan berat hati seperti ketika ia melirik gadis-gadis lain. Dan meskipun kami jarang bicara sekarang, sesungguhnya kami selalu terhubung oleh sesuatu apa yang tidak jelas namanya yang membuat kami bisa saling mengerti satu sama lain. Mungkin… persahabatan.

Nella
Aku senang bisa tampil cantik malam ini! Well, siapa yang tahu kalau Putri ternyata pintar mendandani orang. Memang sih waktu itu aku juga sudah banyak lihat banyak teman-teman yang tampil luar biasa waktu prom karena didandani Putri. Tapi aku baru percaya tadi. Malam ini. Bahkan Rossa yang biasanya jadi primadona kalah olehku.

Yang terpenting dari itu semua, tidak ada yang tidak menyapaku. Siapa yang menyangka aku yang biasanya tampil biasa saja ternyata bisa tampil secantik itu? Aku? Iya, aku.

Dan untuk besok, besoknya, besoknya, dan seterusnya… aku akan selalu tampil secantik tadi.

Rossa
Nella was really really gorgeous. Aku tahu pasti Putri yang mendandaninya. Ada sentuhan khas Putri dalam penampilannya. Coba kalau Putri sendiri yang berpenampilan seperti itu, mungkin aku sebagai tuan rumah akan merasa sangat malu karena kalah olehnya. Haha. Tapi aku juga tidak pernah menyangka Nella akan datang dengan penampilan secantik tadi. Dia benar-benar berhasil membuatku iri saat Yoga meliriknya ketika ia sedang bersamaku.

Ah, iya. Yoga. Dia datang dengan penampilan kasualnya. Khas Yoga. Dia memberiku ucapan selamat ulang tahun dan kado. Masih dengan cara ‘khas Yoga’. Yah, seperti itulah. Acuh, dingin, sedikit arogan, tapi menyenangkan. Kenapa, ya, dia sangat sangat bisa membuat aku selalu tertawa meskipun saat itu dia sedang tidak tertawa? He looks so lovely.

Yoga
Aku rindu semua percakapan kita tentang langit dan segala hal tidak penting seperti dulu saat kamu menatapku tadi. Kenapa kamu mendandani Nella seperti kamu waktu aku mengakui satu hal sakral padamu dulu?

Sunday, June 26, 2011

Hadiah

Tidak ada yang salah semestinya dengan ini semua. Heza adalah teman baik Ucha. Dari dulu. Sejak SMP. Semua orang juga tau. Tidak akan ada yang curiga kalau Heza dan Ucha sering sekali jalan berdua, bahkan kalau mereka makan sepiring berdua pun, itu normal. Karena memang tidak ada yang perlu dicurigai.
Ucha sering curahat ini itu dengan Heza. Heza pun sering bercerita mengenai hobi dan perjalanan tripnya yang penuh tantangan, membuat Ucha iri dan ingin merasakannya juga. Heza pun sering mengajak Ucha dalam trip-trip ala backpackernya. Ucha lebih sering lagi merepotkan Heza dengan meminta oleh-oleh ini itu kalau Heza sedang jalan-jalan.
See? Heza sangat sering membelikan Ucha hadiah. Apa pun. Dari yang harganya murah dan ecek-ecek seperti buku TTS yang dibeli di stasiun saat pergi karena covernya adalah artis idola Ucha, sampai yang harganya mahal dan kalau sudah begini biasanya Ucha merasa bersalah karena menerima dengan lapang dada dan wajah tanpa dosa. Padahal untuk membeli hadiah itu Heza harus mencuil uang tabungannya.
Diberikan sesuatu oleh Heza adalah hal yang biasa bagi Ucha. Tapi kenapa tiba-tiba semuanya mulai berkata tidak saat Heza memberinya sebuket besar bunga lili kesukaannya setelah pulang dari climbing kemarin? Bunga lili yang ia temukan dan ia petik sendiri.
Ucha meletakkan kepala diatas telapak tangannya. Matanya lekat menatapi bunga lili putih yang kini sudah tertata cantik di dalam vas bening yang menampakkan batang-batang lili yang hijau jenjang. Ia memejamkan matanya sebentar untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh. Tapi gemuruh itu tidak mau berhenti. Gemuruh itu datang tiba-tiba. Datang begitu saja tepat saat Heza datang ke apartemennya kemarin malam, di tengah hujan yang cukup deras, masih lengkap dengan ransel besar dan jaket tebal yang biasa digunakannya saat mendaki.
Ucha tau Heza akan pulang hari itu. Ia pun tau kalau Heza akan memberinya sebuah kejutan saat ia pulang nanti. Ia tau semua jadwal Heza disana. Makanya ia selalu berada pada waktu yang tepat untuk sekedar menelpon atau SMS. Tapi sebuah pertanyaan tidak bisa tidak keluar dari pikirannya ketika ia membukakan pintu untuk Heza kemarin.
Kenapa Heza lebih memilih datang ke apartemennya lebih dulu demi sebuket bunga untuknya daripada kembali ke rumahnya sendiri yang sesungguhnya jauh lebih dekat dengan basecamp kelompok pecinta alamnya? Bukankah buket bunga selalu bisa menunggu?
Heza langsung tersenyum begitu Ucha membukakan pintu untuknya. Di tangannya tergenggam seikat bunga lili putih kesukaan Ucha. Ucha mempersilahkan Heza masuk dan segera mengambilkan handuk untuknya.
“Lo kenapa ngga pulang dulu sih, Za? Kan bawaan lo berat,” kata Ucha sambil membuka keran air panas untuk Heza mandi.
“Emang kenapa?” balas Heza.
Ucha keluar dari kamar mandi dan mulai menyeduhkan teh untuk Heza. “Rumah lo kan lebih deket dari basecamp lo. Rumah gue? Bisa satu jam dari basecamp lo.”
Heza bangkit dari duduknya, mengeluarkan vas yang biasanya hanya dikeluarkan saat lebaran oleh Ucha, lalu meletakkan bunga-bunga lili itu disana. Ia menghampiri meja di dekat jendela lalu meletakkannya disana setelah mengisinya dengan air terlebih dahulu.
“Karena bunga ini harus sampe ke apartemen kamu malem ini juga, Cha.”
Ucha berhenti mengaduk teh untuk Heza. Tiba-tiba gemuruh itu datang begitu saja. Tangannya mulai gemetar. Ia menggenggam sendok yang ada di tangannya lebih kuat. Apa ia tidak salah dengar? ‘Kamu’?
“Mana teh gue?” tiba-tiba saja Heza sudah berada dihadapannya.
Ucha masih menundukkan wajahnya. Ia menyodorkan gelas teh ke hadapan Heza.
Heza memandangi gelagat Ucha dengan heran. “Are you okay?” ia bertanya.
Sadar Heza memerhatikan perubahan yang nampak padanya, Ucha segera mengangkat wajahnya. Ia tidak menatap Heza. Ia memertahikan cermin yang ada di belakang Heza. “I… I’m okay…”
Heza tersenyum. Gemuruh itu semakin kuat menghantam hatinya. Ia mulai merasa udara di sekelilingnya menghilang, membuatnya sulit bernapas. Perutnya merasakan gejolak yang aneh. Membuatnya sedikit tegang. Apa yang terjadi? Ada yang salah?
“Sana…” Ucha menelan ludahnya. “… Cepet mandi,” ia berusaha menyudahi ini semua.
Begitu teh yang dibuat Ucha habis, Heza langsung mengambil handuk yang sudah disediakan Ucha dan pergi ke kamar mandi.
Ucha mungkin bisa meredam semua yang ia rasakan saat itu, sampai ia mengantarkan Heza ke pintu saat hujan sudah reda.
“Makasih banyak, ya, Cha,” Heza menghadap Ucha dengan senyum ramah khasnya.
Ucha membalas senyuman itu. “Kayak sama siapa aja sih lo pake makasih-makasih segala.”
“Ngga. Gue bener-bener berterima kasih sama lo.”
Ucha mulai kehilangan senyumnya.
“Jaga bunganya baik-baik, ya, Cha. Bunga itu gue petik sendiri lo. Yah, emang ngga buat lo doang sih. Tapi gue tau lo pasti bakal suka banget waktu liat bunga ini. Awalnya gue kira lo bakal ngejerit waktu ngeliatnya. Ternyata biasa aja. Haha. Ngga pa-pa kok. Yang penting bunga itu sekarang udah ada di tangan lo.”
Gemuruh itu kembali datang. Tangannya kembali gemetar.
Heza mengacak-acak rambut Ucha saat ia mengatakan, “Lo hati-hati disini, ya, Cha.”
Lalu Heza pergi. Entah sadar atau tidak kalau Ucha merasakan getaran yang membuatnya sangat tidak nyaman.
Dan sepeti saat itu, getaran itu ada setiap kali Ucha melihat bunga itu dan membaca SMS yang dikirim Heza. Ia tidak tau harus membalas apa saat Heza sudah mulai menyapanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mematikan telepon selulernya dan tidak menyalakan komputer sama sekali. Ia masih tidak bisa menerima ini semua. Bukan. Ia masih tidak bisa mengerti ini semua. Ia tidak mengerti.
Apa sesunguhnya yang ia rasakan? Apa maksud Heza dengan semua ini? Apa… Heza menganggapnya lebih dari sekedar teman? Apa… semua ini… selama ini… adalah isyarat? Isyarat perasaan Heza? Apa Heza… megharapkan sesuatu padanya?
TING TONG!
Tiba-tiba bel apartemennya berbunyi. Dengan malas Ucha bangkit dari duduknya untuk membukakan pintu.
Heza berdiri dihadapannya dengan tatapan yang aneh. Gemuruh tadi kembali datang. Mereka berdua hanya berdiri mematung di depan pintu. Cukup lama. Membekukan waktu, membuatnya berjalan begitu lama dan… menyakitkan.
Heza menghembuskan napas lega. Ia terkekeh-kekeh sendiri sambil mengacak-acak rambut Ucha. Dan langsung menarik Ucha ke dalam pelukannya hingga Ucha bisa merasakan gemetar yang sama pada Heza.
“Gue kira lo kenapa-napa, Cha. Lo ngga ke galeri. HP lo mati. Lewat chat atau email juga ngga bisa. Syukurlah lo baik-baik aja.”
Saat itu Ucha hanya berharap, agar ia kembali ke masa lalunya. Dimana semua yang Heza berikan untuknya adalah hal yang biasa dari seorang kawan untuk sahabatnya. Sekalipun itu bunga… dan pelukan.

Friday, June 24, 2011

Hello :D

Hello there :D
Actually i made this blog just to improve my writting skill causei really love writting. enjoy the blog. and also the stories :D

Bye.

Regards,
me Nicki