Sunday, June 26, 2011

Hadiah

Tidak ada yang salah semestinya dengan ini semua. Heza adalah teman baik Ucha. Dari dulu. Sejak SMP. Semua orang juga tau. Tidak akan ada yang curiga kalau Heza dan Ucha sering sekali jalan berdua, bahkan kalau mereka makan sepiring berdua pun, itu normal. Karena memang tidak ada yang perlu dicurigai.
Ucha sering curahat ini itu dengan Heza. Heza pun sering bercerita mengenai hobi dan perjalanan tripnya yang penuh tantangan, membuat Ucha iri dan ingin merasakannya juga. Heza pun sering mengajak Ucha dalam trip-trip ala backpackernya. Ucha lebih sering lagi merepotkan Heza dengan meminta oleh-oleh ini itu kalau Heza sedang jalan-jalan.
See? Heza sangat sering membelikan Ucha hadiah. Apa pun. Dari yang harganya murah dan ecek-ecek seperti buku TTS yang dibeli di stasiun saat pergi karena covernya adalah artis idola Ucha, sampai yang harganya mahal dan kalau sudah begini biasanya Ucha merasa bersalah karena menerima dengan lapang dada dan wajah tanpa dosa. Padahal untuk membeli hadiah itu Heza harus mencuil uang tabungannya.
Diberikan sesuatu oleh Heza adalah hal yang biasa bagi Ucha. Tapi kenapa tiba-tiba semuanya mulai berkata tidak saat Heza memberinya sebuket besar bunga lili kesukaannya setelah pulang dari climbing kemarin? Bunga lili yang ia temukan dan ia petik sendiri.
Ucha meletakkan kepala diatas telapak tangannya. Matanya lekat menatapi bunga lili putih yang kini sudah tertata cantik di dalam vas bening yang menampakkan batang-batang lili yang hijau jenjang. Ia memejamkan matanya sebentar untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh. Tapi gemuruh itu tidak mau berhenti. Gemuruh itu datang tiba-tiba. Datang begitu saja tepat saat Heza datang ke apartemennya kemarin malam, di tengah hujan yang cukup deras, masih lengkap dengan ransel besar dan jaket tebal yang biasa digunakannya saat mendaki.
Ucha tau Heza akan pulang hari itu. Ia pun tau kalau Heza akan memberinya sebuah kejutan saat ia pulang nanti. Ia tau semua jadwal Heza disana. Makanya ia selalu berada pada waktu yang tepat untuk sekedar menelpon atau SMS. Tapi sebuah pertanyaan tidak bisa tidak keluar dari pikirannya ketika ia membukakan pintu untuk Heza kemarin.
Kenapa Heza lebih memilih datang ke apartemennya lebih dulu demi sebuket bunga untuknya daripada kembali ke rumahnya sendiri yang sesungguhnya jauh lebih dekat dengan basecamp kelompok pecinta alamnya? Bukankah buket bunga selalu bisa menunggu?
Heza langsung tersenyum begitu Ucha membukakan pintu untuknya. Di tangannya tergenggam seikat bunga lili putih kesukaan Ucha. Ucha mempersilahkan Heza masuk dan segera mengambilkan handuk untuknya.
“Lo kenapa ngga pulang dulu sih, Za? Kan bawaan lo berat,” kata Ucha sambil membuka keran air panas untuk Heza mandi.
“Emang kenapa?” balas Heza.
Ucha keluar dari kamar mandi dan mulai menyeduhkan teh untuk Heza. “Rumah lo kan lebih deket dari basecamp lo. Rumah gue? Bisa satu jam dari basecamp lo.”
Heza bangkit dari duduknya, mengeluarkan vas yang biasanya hanya dikeluarkan saat lebaran oleh Ucha, lalu meletakkan bunga-bunga lili itu disana. Ia menghampiri meja di dekat jendela lalu meletakkannya disana setelah mengisinya dengan air terlebih dahulu.
“Karena bunga ini harus sampe ke apartemen kamu malem ini juga, Cha.”
Ucha berhenti mengaduk teh untuk Heza. Tiba-tiba gemuruh itu datang begitu saja. Tangannya mulai gemetar. Ia menggenggam sendok yang ada di tangannya lebih kuat. Apa ia tidak salah dengar? ‘Kamu’?
“Mana teh gue?” tiba-tiba saja Heza sudah berada dihadapannya.
Ucha masih menundukkan wajahnya. Ia menyodorkan gelas teh ke hadapan Heza.
Heza memandangi gelagat Ucha dengan heran. “Are you okay?” ia bertanya.
Sadar Heza memerhatikan perubahan yang nampak padanya, Ucha segera mengangkat wajahnya. Ia tidak menatap Heza. Ia memertahikan cermin yang ada di belakang Heza. “I… I’m okay…”
Heza tersenyum. Gemuruh itu semakin kuat menghantam hatinya. Ia mulai merasa udara di sekelilingnya menghilang, membuatnya sulit bernapas. Perutnya merasakan gejolak yang aneh. Membuatnya sedikit tegang. Apa yang terjadi? Ada yang salah?
“Sana…” Ucha menelan ludahnya. “… Cepet mandi,” ia berusaha menyudahi ini semua.
Begitu teh yang dibuat Ucha habis, Heza langsung mengambil handuk yang sudah disediakan Ucha dan pergi ke kamar mandi.
Ucha mungkin bisa meredam semua yang ia rasakan saat itu, sampai ia mengantarkan Heza ke pintu saat hujan sudah reda.
“Makasih banyak, ya, Cha,” Heza menghadap Ucha dengan senyum ramah khasnya.
Ucha membalas senyuman itu. “Kayak sama siapa aja sih lo pake makasih-makasih segala.”
“Ngga. Gue bener-bener berterima kasih sama lo.”
Ucha mulai kehilangan senyumnya.
“Jaga bunganya baik-baik, ya, Cha. Bunga itu gue petik sendiri lo. Yah, emang ngga buat lo doang sih. Tapi gue tau lo pasti bakal suka banget waktu liat bunga ini. Awalnya gue kira lo bakal ngejerit waktu ngeliatnya. Ternyata biasa aja. Haha. Ngga pa-pa kok. Yang penting bunga itu sekarang udah ada di tangan lo.”
Gemuruh itu kembali datang. Tangannya kembali gemetar.
Heza mengacak-acak rambut Ucha saat ia mengatakan, “Lo hati-hati disini, ya, Cha.”
Lalu Heza pergi. Entah sadar atau tidak kalau Ucha merasakan getaran yang membuatnya sangat tidak nyaman.
Dan sepeti saat itu, getaran itu ada setiap kali Ucha melihat bunga itu dan membaca SMS yang dikirim Heza. Ia tidak tau harus membalas apa saat Heza sudah mulai menyapanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mematikan telepon selulernya dan tidak menyalakan komputer sama sekali. Ia masih tidak bisa menerima ini semua. Bukan. Ia masih tidak bisa mengerti ini semua. Ia tidak mengerti.
Apa sesunguhnya yang ia rasakan? Apa maksud Heza dengan semua ini? Apa… Heza menganggapnya lebih dari sekedar teman? Apa… semua ini… selama ini… adalah isyarat? Isyarat perasaan Heza? Apa Heza… megharapkan sesuatu padanya?
TING TONG!
Tiba-tiba bel apartemennya berbunyi. Dengan malas Ucha bangkit dari duduknya untuk membukakan pintu.
Heza berdiri dihadapannya dengan tatapan yang aneh. Gemuruh tadi kembali datang. Mereka berdua hanya berdiri mematung di depan pintu. Cukup lama. Membekukan waktu, membuatnya berjalan begitu lama dan… menyakitkan.
Heza menghembuskan napas lega. Ia terkekeh-kekeh sendiri sambil mengacak-acak rambut Ucha. Dan langsung menarik Ucha ke dalam pelukannya hingga Ucha bisa merasakan gemetar yang sama pada Heza.
“Gue kira lo kenapa-napa, Cha. Lo ngga ke galeri. HP lo mati. Lewat chat atau email juga ngga bisa. Syukurlah lo baik-baik aja.”
Saat itu Ucha hanya berharap, agar ia kembali ke masa lalunya. Dimana semua yang Heza berikan untuknya adalah hal yang biasa dari seorang kawan untuk sahabatnya. Sekalipun itu bunga… dan pelukan.

2 comments:

  1. it reminds me about something nik, my bad memory hahahahah
    but it's a nice story :)

    ReplyDelete
  2. hahahah. ga sengaja dam. i like the name so i use it :D

    ReplyDelete